Pada akhir perang dunia ke II, terjadi ledakan kelahiran bayi yang disebut dengan fenomena Baby Boom.
Fenomena ini terjadi di beberapa negara di Eropa, Amerika, Australia,
dan Asia. Peledakan populasi ini menyebabkan kebutuhan pangan menjadi
sangat penting, tak terkecuali di Indonesia. Pada
periode orde baru masa Pemerintahan Presiden Soeharto, digalakkan suatu
program untuk mengatasi masalah kebutuhan pangan, yaitu Revolusi hijau.
Revolusi hijau adalah program untuk meningkatkan produksi pangan di
Indonesia. Revolusi hijau mengedepankan beberapa aspek dalam
pelaksanaannya. Penggunaan varietas unggul yang memiliki umur pendek dan
produksi tinggi, penggunaan pupuk kimia, penataan air, pengendalian
organisme pengganggu tanaman, dan teknik budidaya. Aspek-aspek ini
berhasil mengantarkan Indonesia mencukupi kebutuhan pangannya dan
berhasil untuk swasembada beras. Kebutuhan pangan tercukupi dengan baik.
Namun, revolusi ini berakhir seiring dengan adanya krisis moneter dan
lengsernya presiden Soeharto. 8 tahun setelah nya, pemerintah melalui
kekuasaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mengeluarkan
kebijakan untuk mengatasi masalah pangan. MIRE (Merauke Integrated Rice
Estate), program pembukaan lahan lebih dari satu juta hektar di Merauke
untuk menjaga ketahanan pangan Nasional. Terlalu terpusatnya sentra
pertanian di Jawa dan Sumatera membuat Pemerintah memilih Merauke
sebagai lokasi untuk program ini. Papua dikatakan punya potensi dan
keunggulan dalam hal ketahanan pangan. Jenis komoditas yang dapat
dikembangkan di Bumi Cendrawasih antara lain, padi, jagung, kedelai,
kacang tanah, sagu, ubi, sayur dan buah-buahan (mangga, jeruk, pisang).
Bahkan setelah program ini dikumandangkan oleh pemerintah, beberapa
pihak telah berencana untuk berinvestasi di tanah Merauke untuk
pengembangan lahan padi. Lalu kemudian pada tahun 2008, MIRE berubah
menjadi MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). MIFEE ini
direncanakan akan melibatkan 36 investor yang akan berinvestasi. Pada
2010 dilakukan seremonial pilot project Medco di Serapu. Melalui PP No
26/2008, Perpres 5/2008, PP No 18/2010 direncanakan ada 1,23 juta ha
yang akan dikembangkan.
Setelah pemerintahan SBY berakhir, program ini dilanjutkan kembali
oleh presiden Joko Widodo. Pemerintahan merencanakan membuka lahan
sekurangnya 1 juta ha untuk pengembangan estate padi. Dengan adanya
estate ini pemerintah menargetkan terjadi peningkatan produksi beras
nasional. Tak hanya swasembada yang dimimpikan bahkan akan melakukan
ekspor beras. Menilik dari berbagai asumsi yang dilontarkan pemerintah
di atas, program ini nampaknya sangat menggiurkan, sangat potensial
untuk menanggulangi masalah impor beras yang sampai saat ini tak kunjung
berhenti. Namun, kemunculan program ini memunculkan pula pro dan kontra
di kalangan masyarakat. Yayasan Pusaka mencatat sejak proyek ini
diluncurkan telah memengaruhi hak-hak orang asli Papua (Malind Anim)
yang tersebar di 160 kampung dan 20 distrik. Mereka tak diberikan hak
untuk menentukan kebijakan atas pembukaan lahan dalam proyek MIFEE.
Perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi di antaranya Medco melalui
PT Selaras Inti Semesta (SIS), dan PT Dongin Prabhawa. Hal lain yang
jelas akan terjadi, masyarakat asli merauke tidak dapat bekerja dengan
perusahaan yang terlibat dengan MIFEE lantaran keterbatasan keterampilan
dan pengetahuan yang dimiliki. Mengutip dari laman suarapapua.com
akibat pembukaan lahan tersebut, Merauke juga akan tenggelam dalam
ladang persawahan, yang berarti menghancurkan ekosistem hutan hujan dan
hutan tropis, hutan rawa, sabana dan hutan bakau, serta hilangnya budaya
dan kehidupan sekitar 70.000 masyarakat adat Malind yang tinggal
terpencar di hutan-hutan. Kehilangan hutan hujan tropis tentu akan
menghilangkan pula flora dan fauna di Merauke. Hewan dan tumbuhan langka
akan punah sebelum dinikmati anak cucu kita. Tentu hal ini sangat tidak
kita harapkan. Kenyamanan, ketentraman, dan kearifan masayrakat Papua
yang sebelumnya tercipta dan terpelihara dengan baik akan terkikis
begitu saja dengan adanya program MIFEE ini.
Sebagai seorang masyarakat umum, penulis tentunya sangat mendukung
program MIFEE yang mana memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi
pangan nasional. Namun kepada Pemerintah, sebelum melaksanakan program
ini agar lebih memperhatikan dan mempertimbangkan aspek-aspek yang nanti
nya akan dirugikan apabila program ini dilaksanakan tanpa pertimbangan
dan prosedur yang bijak. Tentu kita tidak ingin proyek lahan gambut
sejuta hektare dahulu terulang kembali. Dua tahun setelah proyek lahan
gambut sejuta hektare berjalan (atau 1998) sawah tak kunjung
terealisasi, yang terjadi justru kita kehilangan 56 juta m3 kayu.
Selayaknya Pemerintah terus belajar dari proyek gambut tersebut.
Berdiskusi dengan cendekiawan, ilmuwan yang ahli pada bidang nya, dan
masyarakat setempat untuk perencanaan program ini tentu nya menjadi
salah satu hal yang sangat arif apabila dilaksanakan. Kepastian dan
jaminan bahwa masyarakat setempat akan sejahtera dan tidak terusik
dengan proyek ini, perlindungan masyarakat adat dan pelestarian hutan
tentu nya menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi Pemerintah.
Akhir kata, semoga dengan adanya program MIFEE ini ketahanan pangan
nasional akan membaik dan masyarakat Indonesia menjadi lebih sejahtera
ke depannya.
Muhammad Imaduddin Suria Saputra, alumna Agricultura Gadjah Mada University
Tulisan ini pernah dimuat di dema.faperta.ugm.ac.id dengan judul Mengkaji Keberadaan MIFEE
Tulisan ini pernah dimuat di dema.faperta.ugm.ac.id dengan judul Mengkaji Keberadaan MIFEE
Referensi :
Komentar
Posting Komentar